TULISAN : PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM
Perkembangan Hukum di Indonesia pada Awal Kemerdekaan,
Masa Orde Lama, Orde Baru dan reformasi
Perlu kita ketahui bahwa pada Masa Orde
Baru adalah merupakan masa-masa yang bersifat memaksakan kehendak serta
bermuatan unsur politis semata, untuk kepentingan Pemerintah pada masa itu. Dan
pada masa Orde Baru itu pulalah, telah terjadinya pembelengguan disegala
sector, dimulai dari sector Hukum/undang-undang, perekonomian/Bisnis,
Kebebasan Informasi/Pers dan lain-lain sebagainya. Dan untuk mengembalikan
Citra Bangsa Indonesia yaitu sebagai Negara Hukum terutama dalam dibidang hukum
dan Politik, untuk meyakinakan bahwa revolusi belum selesai, dan UUD 1945
dijadikan landasan idiil/Konstitusional, dengan dikeluarkannya Surat Perintah
Sebelas Maret pada Tahun 1967 serta dibentuknya kabinet baru dengan sebutan
Kabinet Pembangunan yang merupakan sebagai titik awal perubahan kebijakan
pemerintah secara menyeluruh. Dengan Ketetapan MPRS No. XX : menetapkan sumber
tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangn
Republik Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen
yaitu Pancasila. Pada pembangunan lima tahun yang merupakan sebagai Rule of Law
pada tahun 1969 merujuk kepada paragraf Pendahuluan Bab XIII UUD 1945 bahwa
Indonesia adalah negara yang berazas atas hukum dan bukan negara yang
berdasarkan atas kekuasaan belaka, dimana Hukum di fungsikan sebagai sarana
untuk merekayasa masyarakat proses pembangunan melakukan pendekatan baru yang
dapat dipakai untuk merelevansi permasalahan hukum dan fungsi hukum dengan
permasalahan makro yang tidak hanya terbatas pada persoalan normative dan
ligitigatif (dengan kombinasi melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum
nasional). Yang secara Eksplisit dan resmi dalam naskah Rancangan Pembangunan
Lima
Tahun Kedua Tahun 1974, Bab 27 Paragraf
IV butir I Menguraikan : “Hukum dan
Rancangan Perundang-
undangan”, dengan prioritas untuk
meninjau kembali dan merancang
peraturan-peraturan
perundang-undangan sesuai dengan pembangunan social-ekonomi
(perundangan-undangan disektor social-ekonomi.
Kontinuitas Perkembangan Hukum Dari
Hukum Kolonial Ke Hukum Kolonial yng dinasionalisasi, adalah pendayagunaan
hukum untuk kepentingan pembangunan Indonesia, adalah dengan hukum yang telah
diakui dan berkembang dikalangan bisnis Internasional (berasal dari hukum dan
praktek bisnis Amirika), Para ahli hukum praktek yang mempelajari hukum eropa
(belanda), dalam hal ini, mochtar berpengalaman luas dalam unsur-unsur hukum
dan bisnis Internasional, telah melakukan pengembangan hukum nasional Indonesia
dengan dasar hukum kolonial yang dikaji ulang berdasarkan Grundnom Pancasila
adalah yang dipandang paling logis. Dimana Hukum Kolonial secara formil masih
berlaku dan sebagian kaidah-kaidahnya masih merupakan hukum positif Indonesia
berdasarkan ketentuan peralihan, terlihat terjadi pergerakan kearah
pola-pola hukum eropa (belanda), yang mengadopsi dari hukum adat, hukum Amirika
atau hukum Inggris, akan tetapi konfigurasinya/pola sistematik dari eropa tidak
dapat dibongkar, hukum tata niaga atau hukum dagang (Handels recht Vav
koophandel membedakan hukum sebagai perekayasa social atau hukum ekonomi. Dalam
Wetboek Van Koohandel terdapat pula pengaturan mengenai leasing, kondominium,
pada Universitas Padjadjaran melihat masalah hukum perburuhan, agraria,
perpajakan dan pertambangan masuk kedalam hukum ekonomi, sedangkan hukum
dagang (belanda) dikualifikasikan sebagai hukum privat (perdata), khususnya
hukum ekonomi berunsurkan kepada tindakan publik-administratif
pemerintah, oleh karenanya hukum dagang untuk mengatur mekanisme ekonomi pasar
bebas dan hukum ekonomi untuk mengatur mekanisme ekonomi berencana. Pada era
Orde Baru pencarian model hukum nasional untuk memenuhi panggilan zaman dan
untuk dijadikan dasar-dasar utama pembangunan hukum nasional., dimana
mengukuhkan hukum adat akan berarti mengukuhan pluralisme hukum yang tidak
berpihak kepada hukum nasional untuk diunifikasikan (dalam wujud kodifikasi),
terlihat bahwa hukum adat plastis dan dinamis serta selalu berubah secara
kekal. Ide kodifikasi dan unifikasi diprakasai kolonial yang berwawasan
universalistis, dimana hukum adat adalah hukum yang memiliki perasaan keadilan
masyarakat lokal yang pluralistis. Sebagaimana kita ketahui bahwa hukum
kolonial yang bertentangan dengan hukum adat adalah merupakan tugas dan
komitmen Pemerintah Orde Baru untuk melakukan unifikasi dan kodifikasi kedalam
hukum nasional.
Pada masa era tahun 1970, telah
dilakukan konsolidasi dengan dukungan politik militer dan bertopang pada
struktur secara monolistik serta mudah dikontrol secara sentral, mengingat
peran hukum adat dalam pembangunan hukum nasional sangat mendesak yang secara
riil tidak tercatat terlalu besar, terkecuali klaim akan kebenaran moral, pada
saat masalah operasionalisasi dan pengefektifan terhadap faham hukum sebagai
perekayasa ditangan Pemerintah yang lebih efektif. Timbul permasalahan pokok
yaitu : 1. Mengapa didalam Sejarah Hukum harus kembali kepada Ketetapan MPRS
Tahun 1966 yang dilakukan oleh Pemerintahan Orde Baru ?, 2. Bagaimanakah
realisasi dari Pemerintahan Orde Baru dengan prodak Hukum Super Semar, serta
bagaimana perubahan Sejarah Hukum dipandang baiak dari Kebijakan Dasar maupun
Kebijakan Pemberlakuan terhadap roda Pemerintahan dimasa Orde Baru (baik secara
factor Internal maupun secara factor eksternal) ? Atas dasar permasalahan
tersebut, maka harus mempunyai tujuan serta maksudnya yaitu memperdalam
pengetahuan Sejarah Hukum, agar dapat terlihat secara jelas dan sistematis
perkembangan dari masa-masa pemerintah Orde Lama kepada masa Orde Baru, dimana
pada masa Pemerintahan Orde Baru yang telah melakukan perubahan secara
besar- besaran dibidang Hukum, Politik dan Sosial Budaya. Tidak terlepas
dari kerangka teori dan konsep yang berlandaskan kepada Undang Undang Dasar
1945 dan Pancasila yang merupakan sebagai Landasan Idiil, yang dijelaskan
dalam “paragraph Pendahuluan Bab XIII
UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang
berazas atas hukum dan bukan
negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka dan Konstitusional serta
dikuatkan dengan Ketetapan MPRS Tahun 1966 tanggal 5 Juli dengan
Ketetapan MPRS No. XX menetapkan :
“sumber teretib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangn
Republik Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekue dan
yang maksud ketetapan MPRS tersebut adalah Pancasila, Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945, Dekrit 5 Juli 1959, UUD Proklamasi dan Super
Semar 1966”.
Sangat jelas terlihat bahwa pada
tahun 1966 telah terjadi perubahan besar-besaran dibidang hukum dan Politik,
yang meyakinakan bahwa revolusi belum selesai, dimana UUD 1945 dijadikan
landasan idiil/Konstitusional terhadap segala kegiatan ekonomi, politik, social
dan budaya, dan anti kolonialisme dan anti imperialisme tidak lagi
dikumandangkan telah berganti strategi nasional yaitu kepada masalah soal
kemiskinan dan kesulitan hidup ekonomi
untuk dipecahkan.yang berkaitan dengan
pendapatan rakyat, buta aksara/huruf, kesehatan dan pertambahan penduduk.
Dengan sikap Low Profile dalam politik Internasional, dengan dibawah kontrol
Pemerintah Orde Baru terdapat suatu indicator keberhasilan perjuangan
bangsa yang kemudian dialihkan keberhasilannya dalam pembangunan ekonomi.
Hal tersebut berkaitan dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret pada
Tahun 1967 dan pada Tahun 1968, dibentuknya kabinet baru dengan sebutan Kabinet
Pembangunan yang merupakan sebagai titik awal perubahan kebijakan pemerintah
secara menyeluruh (dari kebijakan politik revolusioner sebagai panglima menjadi
kebijakan pembangunan ekonomi sebagai perjuangan Orde Baru). Sedangkan
pada berikutnya adalah sebagai tahap mengembalikan citra Indonesia sebagai
Negara Hukum, dimana perkembangan hukum nasional pada era Orde Baru adalah
upaya memulihkan kewibawaan hukum dan tata hirarki perundang-undangan. Yang
kemudia pada Tahun 1966 tanggal 5 Juli dengan Ketetapan MPRS No. XX : telah
menetapkan sumber tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangn Republik Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945 secara murni
dan konsekuen dan maksud ketetapan MPRS tersebut adalah Pancasila, Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Dekrit 5 Juli 1959, UUD Proklamasi dan Super Semar
1966. Dengan Tata urutan serta tingkatan-tingkatan tersebut yaitu :
Undang-Undang Dasar, Ketetapam MPR, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden dan Peraturan Pelaksanaan lainnya (Peraturan Menteri dan
Instruksi Menteri). Pembangunan lima tahun merupakan (Rule of Law) pada tahun 1969
merujuk kepada paragraf Pendahuluan Bab XIII UUD 1945 yang menjelaskan bahwa
Indonesia adalah negara yang berazas atas hukum dan bukan negara yang
berdasarkan atas kekuasaan belaka. Dengan melihat kepada Rule of Law, terdapat
tiga kebijakan yaitu Hak Azasi manusia, peradilan harus bebas dan tidak memihak
(UU Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman)
dan azas legalitas terhadap hukum formil maupun hukum materiil. Dan pada masa
awal Pemerintahan Orde Baru, telah dilakukan pembatasan- pembatasan
kekuasaan eksekutif, karena pada Pemerintahan Presiden Soekarno, kekuasaan
eksekutif mendudukkan diri kepada Pimpinan Besar Revolusi, yaitu dengan
mengesahkan jabatannya sebagai Presiden seumur hidup (Sangat eksesif
dengan dekrit-dekrit Presiden sebagai kekuatan hukum yang melebih kekuatan
undang-undang dan UU Pokok Kehakiman
No. 19 Tahun 1964 yang telah
memberi wewenang kepada Presiden untuk melakukan intervensi pada
perkara-perkara di Pengadilan). Atas dasar tersebutlah Pemerintah Orde Baru
melakukan pemulihan kewibaan hukum dan menegakkan The Rule of Law untuk
terciptanya serta terlaksananya kegiatan perekonomian, dengan bantuan luar
negeri dan investasi asing oleh karenannya harus tetap terjaminnya kepastian
berdasarkan hukum.
yang mandiri dan kreatif untuk merintis
pembaharuan hukum lewat mengartikulasian hukum dan moral rakyat. Dimana ketidak
mampuan hakim bertindak mandiri dan bebas dalam proses dan fungsi
pembaharuan hukum nasional, tidak disebabkan oleh para hakim saja, yang tidak
menjamin kemandiriannya yang seharusnya ditetapkan dahulu secara
diktrinal.(karena pendidikan hukum dan kehakiman terlanjur menekankan
pola berfikir deduktif lewat silogisme logika formal tanpa melalui berfikir
induktif untuk menganalisa kasus/case law). Barulah pada tahun 1970, telah
dilakukan konsolidasi dengan dukungan politik militer dan topangan birokrasi
yang distrukturkan secara monolitik serta mudah dikontrol secara sentral,
mengingat peran hukum adat dalam pembangunan hukum nasional sangat mendesak
yang secara riil tidak tercatat terlalu besar, terkecuali klaim akan kebenaran
moral, pada saat masalah operasionalisasi dan pengefektifan terhadap faham
hukum sebagai perekayasa ditangan Pemerintah yang lebih efektif.Resultante pada
era Orde Baru telah terlanjur terjadi karena kekuatan dan kekuasaan riil
eksekutif dihadapan badan-badan perwakilan telah menjadi tradisi di Indonesia
sejak jaman kolonial dan pada masa sebelumnya dan juga adanya alasan-alasan
yang lain yaitu alasan pertama : adalah pendayagunaan wewenang konstitusional
badan deksekutif yang melibatkan diri dalam pernacangan dan pembuatan
undang-undang, karena dikusainya sumber daya yang ralif berlebihan alan
menyebabkan eksekuitf mampu lebih banyak berprakasa, yang seharusnya alih ide
dan kebijakan diperakasai oleh lembaga perwakilan akan tetapi pada kenyataannya
justru ide dan prakasa eksekutif yang lebih banyak merintis dan mengontrol
perkembangan. Kontrol eksekutif tampak lebih menonjol manakala memperhatikan
keleluasaan eksekutif dalam hal membuat regulatory laws sekalipun hanya
bertaraf peraturan pelaksanaan, alasan kedua : adalah dimana perkembangan
politik pada era Orde Baru, kekuatan politik yang berkuasa di jajaran eksekutif
ternyata mampu bermanouver dan mendominasi DPR dan MPR, dengan kompromi
politik sebagai hasil trade-offs antara berbagai kekuatan polotik.
Terlihat dari Pemilihan Umum tahun 1973, dimana 100 dari 360 anggota Dewan
adalah anggota yang diangkat dan ditunjuk oleh eksekutif yaitu fraksi ABRI
ditunjuk dan diangkat sebagai konsesi tidak ikutnya anggota ABRI dalam
menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum. Konstelasi dan
kontruksi tersebut dalam abad ke 20
secara sempurna menjadi “Government Social Control
dan fungsi seba
gai “Tool Of Social Engineering”.
Dengan demikian Orde Baru telah
menjadi kekuatan kontrol Pemerintah yang terlegitimasi (secara formal-yuridis)
dan tidak merefleksikan konsep keadilan, asas-asas moral dan wawasan kearifan
yang tidak hidup dalam masyarakat awam, hal ini terlihat
gerakan-gerakan dari bawah untuk
menuntut hak-hak asasi, yang justru lebih kuat dan terjadi dimasa kejayaannya
ide hukum revolusi diawal tahun 1960-an. Analisa pertama adalah karena
disebabkan dianggap sudah tidak murni dan konsekuen untuk melaksanakan UUD 1945
dan Pancasila sebagai landasan idiil dan konstitusional, dimana Presiden Orde
lama dengan melalui dekrit-dekritnya sebagai Pimpinan yang tertinggi dan
sebagai Presiden seumur hidup. Dimana kebijakan dasar dan kebijakan
pemberlakuan secara internal, mengakibatkan terjadinya pelanggaran
hak-hak asasi manusia dimana terjadi kelaparan serta kemiskinan yang
berkelanjutan karena telah menyimpang dari landasan Negara yaitu UUD 1945 dan
Pancasila. Jika dilihat berdasarkan factor eksternal, dimana pada masa Pemerintahan
Orde Lama adalah yang merupakan sebagai Presiden seumur hidup sebagai pahlawan
revolusi telah bertindak melakukan menguasaan terhadap perusahaan asing,
dengan mengakibatkan secara factor eksternal terdapat ketidak percayaan
investor asing terhadap Pemerintah Orde Lama, karena dengan kekuasaannya telah
mengakibatkan terjadinya ketidak pastian hukum di Indonesia pada masa
Pemerintahan Orde Lama tersebut. Analisa permasalahan kedua, adalah dimana pada
Pemerintahan Orde Baru adalah merupakan sebagai Pemerintahan yang dengan
memberlakukan Ketetapan MPRS No. XX : yang telah menetapkan sumber tertib Hukum
Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangn Republik
Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dan yang dimaksud
oleh ketetapan MPRS tersebut adalah Pancasila, Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945, Dekrit 5 Juli 1959, UUD Proklamasi dan Super Semar 1966. Dimana
secara factor internal, Pemerintahan Orde Baru ingin melakukan pembaharuan
hukum disegala sector dengan melakukan kodofikasi dan unifikasi hukum nasional,
upaya ini adalah untuk mengembalikan citra hukum Indonesia akibat kekuasaan
Orde lama yaitu dengan mengembalikan perusahaan asing yang telah dikuasai
semasa Pemerintahan Orde Lama dengan tujuan untuk menjamin kepastian hukum
Indonesia. Analisa secara factor Eksternal adalah bertujuan agar kembali kepada
kebijakan dasar yaitu UUD 1945 dan Pancasila dan kebijakan Pemberlakukan yaitu
Peraturan Perundang-undangan yang bersandar kepada hukum Nasional yang telah di
kodifikasi dan di Unifikasi, dengan tujuan sebagai terciptanya kepastian hukum
dam menunjukan kepada dunia Internasional agar mau menanamkan modal atau
menginvestasikan kembali modalnya di Indonesia dalam rangka mewujudkan
pembangunan nasional.
Setelah kemerdekaan, Indonesia bertekad
untuk membangun hukum nasional yang berdasarkan kepribadian bangsa
melalui pembangunan hukum. Secara umum hukum Indonesia diarahkan ke bentuk
hukum tertulis. Pada awal kemerdekaan dalam kondisi yang belum stabil,
masih belum dapat membuat peraturan untuk mengatur segala aspek kehidupan
bernegara. Untuk mencegah kekosongan hukum, hukum lama masih berlaku
dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Pasal 192 Konstitusi RIS (pada
saat berlakunya Konstitusi RIS) dan Pasal 142 UUDS 1950 (ketika berlaku UUDS
1950). Sepanjang tahun 1945-1959 Indonesia menjalankan demokrasi liberal,
sehingga hukum yang ada cenderung bercorak responsif dengan ciri
partisipatif, aspiratif dan limitatif. Demokrasi liberal (atau demokrasi konstitusional)
adalah sistem politik yang melindungi secara konstitusional hak-hak individu
dari kekuasaan pemerintah. Dalam demokrasi liberal, keputusan-keputusan
mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian
besar bidang- bidang kebijakan pemerintah yang tunduk pada
pembatasan-pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar
kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi. Pada masa
Orde Lama Pemerintah (Presiden) melakukan penyimpangan- penyimpangan terhadap
UUD 1945. Demokrasi yang berlaku adalah Demokrasi Terpimpin yang menyebabkan
kepemimpinan yang otoriter. Akibatnya hukum yang terbentuk merupakan hukum yang
konservatif (ortodok) yang merupakan kebalikan dari hukum responsif, karena
memang pendapat Pemimpin lah yang termuat dalam produk hukum.
SUMBER
:
Komentar
Posting Komentar